Khabib-MacGregor: Terkenang Karavan Holid Dagestan

Meski tergencet di semasa Uni Sovyet ternyata ajaran Islam tak mati di Rusia.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Melihat pertarungan antara Khabib Nurmagomedov dan Conor MacGregor, tiba-tiba ingatan ini melayang  pada dua peristiwa. Yang pertama peristiwa luar biasa bagi hidup saya, yakni pergi haji dan tinggal cukup lama di Makkah. Kedua peristiwa sepele tapi terasa terus bermakna, yakni teringat film ’The Gang of New York' yang dibintangi Leonardo Dicaprio.


Untuk yang pertama, entah mengapa tiba-tiba sosok Khabib begitu intim dengan saya. Wajah dan orangnya ekspresi wajahnya terasa sangat dikenal. Dan telusur punya telusur dari mana asal usul perasaan itu, ya memang pada pertemuan dengan serombongan orang Dagestan di Makkah selepas musim haji 2011 tersebut.

Kala itu perjumpaan berlangsung di Terminal Khudai yang berada di pinggiran Kota Makkah. Tujuan semula hanya ingin mencari air Zamzam yang konon pusat penampungan atau pompanya berada di tempat itu. Saya kemudian pergi saja ke sana agar bisa sekadar dapat minum dan membawa air zamzam dengan kemasan cukup banyak, yakni memakai jeriken 20 literan. Lumayan buat dipaketkan ke Tanah Air via kiriman cargo pesawat.

Nah, di tengah pencarian itulah saya bertemu serombongan lelaki asal Rusia, tepatnya asal Dagestan. Sekilas mereka sama dengan orang Eropa, tapi dari ekspresinya terkesan seperti orang Turki. Saat itu mereka tengah beristirahat bersama kendaraannya di bawah rimbunnya pepohonan.

Tak berapa lama saya kemudian berkenalan dan berbincang lepas. Imbas pertemuan itulah yang terasakan pada hari-hari ini. Perlahan-lahan saya jadi tahu mengapa negara itu mampu melahirkan petarung tangguh seperti Khabib yang namanya kini melambung sebagai juara olahraga tarung bebas.

Kesan mereka yang pantang menyerah memang seperti Khabib itu. Bila Khabib dengan tabah bisa menerima teror dan penghinaan dari Conor MacGregor, para ibu dan bapak asal kampungnya saya temukan banyak yang pergi haji dengan cara naik mobil. Padahal jarak Makkah dan Rusia (Dagestan) sangat jauh, lebih dari 5.000 KM. Perjalanan di tempuh selama 15 belas hari sekali jalan. Kasur lipat, peralatan dapur, makanan mentah hingga peralatan bengkel ada dalam mobilnya.


Memang mereka ke Makkah dengan cara konvoi. Mobil yang dipakai mereka berasal dari kendaraan roda empat sejenis van buatan Rusia bermerk Gazele. Kendaraan ini disulap jadi tempat menginap atau restoran di sepanjang perjalanan.

Agar lebih menghemat tenaga saya kutip saya tulisan soal pertemuan itu. Kisah ini pernah dimuat di Republika edisi 12 September 2011 dan menjadi bagian buku saya 'Lelaki Buta Melihat Ka'bah'. Kisahnya begini:

Karavan Holid Daghistan

"Kami memang melakukan perjalanan panjang!" Lelaki brewok bertubuh kekar bernama Abu Kholid menyampaikan hal ini di bawah kerindangan pohon di Terminal Kudai Makkah.

Udara siang padang pasir panas menyengat. Ini membuat Holid yang pergi haji ke Makkah dari Rusia bersama beberapa anggota keluarganya dengan menumpang mobil karavan berlindung di  bawah pohon yang rindang."Udara panas juga kadang membuat mobil kami bermasalah. Sebab, kendaraan ini memang dibuat untuk daerah dingin. Ketika memasuki kawasan Timur Tengah, radiatornya sering rusak. Mesin menjadi panas," ujarnya lagi.

Membayangkan cara pergi berhaji Holid dan rekan-rekannya jelas tak sebanding dengan cara berhaji orang Indonesia saat ini. Mereka tak naik kapal terbang, tapi mengendarai kendaraan darat. Panjang perjalannya jelas tidak main-main, sekitar 5.000 kiometer.

Jarak sepanjang ini mereka tempuh selama 10 hari untuk sekali jalan. "Kami melintasi banyak negara. Kami menyopir siang malam. Shalat, tidur, dan makan di mana saja. Setiap kali merasa capai kami berhenti untuk beristirahat," kata Holid.

Di Kudai saat itu memang terlihat beberapa mobil van buatan Rusia merek Gazele yang dibuat menjadi mobil karavan. Di bagian tengah kendaraan itu ada tempat tidur susun yang mungil.

Di bagian belakang ada dapur sekaligus gudang untuk menaruh barang. Dalam satu mobil ditumpangi tiga orang. Holid pergi haji ke Makkah dengan anak lelaki yang sudah remaja dan istrinya, Fatimah.


Daghistan adalah negara bagian Republik Rusia. Sebagian besar beretnis Turki dan beragama Islam. Populasinya sekitar 2,6 juta jiwa. Negara ini kaya bahan tambang seperti minyak, gas, dan batu bara. Tanahnya subur karena berada di pegunungan Kaukasia. Ada danau yang luas di dekat Laut Kaspia dan puncak Gunung Bazardyudi yang tinggi menjadi 4.466 meter.

Warga Muslimnya menganut Mahzab Suni-Syafii. Di sana juga ada orang Yahudi. Populasi Kristen yang hanya delapan persen, kebanyakan berasal dari etnis Slavia. Sosok pejuang yang sangat dikenal adalah Imam Shamil yang pada abad ke-18 berperang melawan kolonial Rusia. "Imam Shamil adalah pejuang dan guru kami. Di sana juga ada Imam Murat. Mereka pejuang Daghistan," ujar Holid.

Dia juga menceritakan perjuangan bangsa Daghistan yang diokupasi Rusia pada 1813. Etnis Rusia yang populasinya minoritas di kawasan Asia Tengah-Utara kemudian menguasai banyak wilayah seperti Dagestan. Melalui Revolusi Bolshevik yang berhasil menjungkalkan Kekaisaran Tsar Nikola II,  Vladimir Lenin pada 1917 kemudian memproklamasikan gabungan negara koloninya sebagai Union of Soviet Socialits Republicks (USSR).

Menurut Holid, perjalanan haji bagi orang Daghistan memang harus dipersiapkan dengan matang. Tak hanya menyiapkan uang untuk membeli mobil dan membiayai perjalanan, mereka juga menyiapkan kesehatan badan secara baik.

Perjalanan panjang lintas negara dengan rute Daghitsan, Azerbaijan, Iran, Turki, Suriah, Yordania, dan Arab Saudi bolak-balik jelas melelahkan serta berbiaya besar. "Sekali jalan rombongan bisa mencapai puluhan kendaraan," tuturnya.

Rombongan diatur dalam kelompok kecil masing-masing empat kendaraan. Dalam kelompok itu harus ada satu orang mekanik yang paham seluk-beluk mesin mobil. Suku cadang kendaraan yang penting juga dibawa dalam satu mobil khusus.

Selain menyiapkan bekal fisik dan rohani yang cukup ketika hendak berangkat haji, para pengelana ini semuanya menguasai bahasa Arab. Sebagian besar juga menguasai bahasa Inggris.

Bahkan khusus untuk Holid, di mobilnya terlihat menumpuk aneka bahan bacaan. Saya beli berbagai kitab baru di sini. Ada yang bahasa Inggris ataupun Arab. Kami memang tak bisa buka internet karena harus berpindah tempat sehingga koneksinya sulit, tuturnya. Sebagai sarana komunikasi, mereka menggunakan telepon selular biasa dan satelit. Untuk yang biasa, kami harus ganti kartu baru setiap kali melintasi negara yang berbeda.

Apakah masih ingin balik lagi ke Makkah meski perjalanan panjang dan sulit? Holid menjawab dengan mengangguk. "Lima tahun lalu kami datang,'' katanya.

Terkait kisah ini, juga ada tulisan dari Michel Schwirrtzdec pada tahun 2007 silam. Dia mengisahkan seperti apa Dagestan yang menjadi negara bagian Federasi Rusia itu. Ceritanya dimulai dari kisah Gulsine Fatakhudinova, seorang Muslim Tatar berusia 56 tahun.

Schwirrtzdec melukiskan pandangan mata ketika dia datang membawa koper untuk berdoa di masjid yang kehijauan di Moskow tengah itu. Badannya terselip di antara salah satu dari lusinan orang yang tiba masjid itu satu yang terbungkus mantel tebal dan topi bulu dalam hari-haru terakhir musim dingin. Pakaian tebalnya itu akan terus dia kenakan, setidaknya untuk sementara waktu sampai udara dingin sedikit mereda. Schwirrtzdec menulis tentang kebangkitan agama, khususnya agama Islam, di Rusia.

Memang bagi kebanyakan orang Indonesia banyak yang belum tahu bahwa Muslim dan jamaah haji asal Rusia  cukup banyak. Bagi yang kaya mereka naik pesawat terbang untuk sampai ke Makkah. Tapi bagi yang 'cukupan' dan ingin berpetualang mereka naik kendaraan roda empat seperti yang sempat saya temui itu.

Selanjutnya dalam tulisannya Schwirrtzdec menulis kisah begini: Selama beberapa dekade Gulsine Fatakhudinova dan orang Muslim Rusia lainnya memang dihalangi oleh Soviet untuk melakukan ritual suci Islam itu, yakni pergi berhaji. Tapi seiring dengan perubahan rezim dan runtuhnya Uni Sovyet, mereka kini termasuk di antara puluhan ribu Muslim Rusia mendapat kemudahanan untuk melakukan perjalanan haji ke Arab Saudi.

Bahkan jumlah mereka telah membengkak dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar berkat kekayaan Rusia yang terus bertambah dan peningkatan stabilitas di wilayah pegunungan Kaukasus Utara yang didominasi Muslim, termasuk Chechnya dan Dagestan. Kemakmuran pun mulai datang akibat memudarnya efek buruk dari hampir satu dekade hidup dalam suasana perang.

Hebatnya, bukan hanya sekali, Fatakhudinova pun melakukan perjalanan haji untuk kedua kalinya."Tahun ini saya akan pergi untuk ibu saya, untuk ibu saya yang sudah meninggal, yang tidak dapat pergi haji selama hidupnya," katanya. Dia menjelaskan bahwa keluarganya dari dahulu selalu beragama, bahkan selama era komunis Soviet sekalipun.

"Aku pergi untuk Allah," kata Fatakhudinova. “Ini agar ketika di hadapan Tuhan, yakni ketika kita dibangkitkan, ibu saya akan merasakan bila dirinya sebagai seorang haji."

Terkait haji, dahulu pemerintah Soviet hanya mengizinkan 18 orang setiap tahun untuk melakukan perjalanan. Hal ini dikatakan Rushan Abbyasov, direktur hubungan internasional di Dewan Mufti Rusia. Namun sekarang, pembatasan ini tak ada lagi.’’Pembatasan hanya pada jumlah peziarah berasal dari Arab Saudi, yang menjadi tuan rumah bagi haji,’’ katanya.

Tak hanya Islam, agama lain seperti Kristen Ortodoks, juga sedang dalam keadaan kebangkitan di Rusia setelah bertahun-tahun dikurung di dapur dan ruang bawah tanah Uni Soviet. Kala itu, rezim komunis sangat membatasi praktik terbuka semua agama.

Rusia setidaknya kini memiliki sekitar 4.000 masjid. Ini tentu saja berbeda jauh bila dibandingkan dengan jumalh masjid yang hanya 90 buah pada era Uni Soviet. Di Moskow, belanja makanan dan toko-toko Muslim pun marak. Gerai busana Muslim telah muncul, dan rumah sakit pertama yang melayani umat Islam juga telah dibuka.

Lalu bagaimana sikap Presiden Rusia Vladimir Putin? Pihak Kremlin ternyata telah bekerja untuk membangun fasilitas Muslim dan termasuk keleluasaan untuk melakukan ziarah haji. Ini tampaknya diambil sebagai bagian dari strategi untuk menangkal potensi keresahan di kalangan Muslim. Putin menganggap Muslim adalah bagian tak terpisahkan dan menjadi tulang punggung kekuatan Rusia. Sikap ini tercermin secara jelas ketika dia memberikan selamat kepada Khabib setelah menekuk pria berdarah Irlandia, MacGregor.

Kemudian bagaimana kaitannya dengan ingatan film The Gang of New York? Maka jawabannya kok sepertinya cukup tepat untuk mengerti mengapa MacGregor berani berbuat kasar dan brutal seperti itu. Dalam film yang mengisahkan para pendatang Irlandia pada masa awal Amerika Serikat itu hanya berisi adegan tindakan brutal dan kekerasan.

Tak hanya itu, film yang di sutradari legendaris Martin Scorsese itu dari awal hingga akhir terlihat hanya kekerasan dan darah. Entah mengapa sosok MacGregor persis dengan sosok yang diperankan kaum pendatang yang juga asal Irlandia. Apakah benar pikiran saya? Apakah benar ini hanya stereotip saja seperti kita menyebut orang Jawa Solo dan Yogya halus atau orang luar Jawa kasar?

Jawabnya entahlah. Meski begitu memang ada pesan dari Sayyidina Ali: bila ingin melihat kualitas perilaku seseorang maka lihat saja dengan siapa berkawan. Apakah ini tetap berlaku sampai kini? Wallahu'alam bissawab.

Sumber : Republika 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Khabib-MacGregor: Terkenang Karavan Holid Dagestan"

Posting Komentar