Wakaf untuk Penanggulangan Bencana


Menggunakan wakaf sebagai sumber dana bencana patut diapresiasi.

Oleh: Fahmi M Nasir,
(Mahasiswa S3 Konsentrasi Tata Kelola dan Hukum Wakaf pada Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia)

Dunia wakaf di Indonesia saat ini sedang mengalami perkembangan sangat dinamis. Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai otoritas wakaf di Tanah Air tampaknya sedang giat mengadakan berbagai kegiatan untuk memajukan wakaf.

Untuk meningkatkan literasi dan pengarusutamaan wakaf, tahun ini BWI tercatat sudah dua kali melakukan program ‘Wakaf Goes to Campus’ masing-masing pada Mei di Universitas Indonesia, Jakarta dan pada September di Institut Teknologi Bandung. Pekan ini pula, dalam pertemuan tahunan International Monetary Fund-World Bank (IMF-WB) di Bali, BWI berencana meluncurkan dua agenda besar wakaf.

Pertama, BWI melalui kerja sama dengan Bank Indonesia, akan meluncurkan dokumen Waqf Core Principles (WCP) yang diharapkan bisa menjadi kerangka acuan penyusunan tata kelola wakaf pada masa depan.

Kerangka acuan ini diproyeksikan untuk diimplementasikan di seluruh dunia, mengingat selama ini standardisasi pengelolaan wakaf belum pernah ada.

Kedua, BWI bekerja sama dengan Kementerian Keuangan akan meluncurkan satu instrumen syariah berbasis wakaf tunai yang diberi nama Wakaf Linked Sukuk (WLS). WLS ini, untuk pertama kali, diproyeksikan untuk membeli Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Salah satu sasaran penggunaan dana beserta imbal hasil SBSN, seperti diberitakan Republika pada 4 Oktober 2018, adalah sebagai dana sosial untuk pembangunan kembali kawasan terkena bencana, seperti di Lombok dan Palu.

Ide untuk menggunakan wakaf sebagai salah satu sumber dana dalam menanggulangi bencana patut diapresiasi. Namun, mengingat dana yang bersumber dari WLS ini nantinya juga digunakan untuk tujuan sosial lain, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, maka penulis ingin menggagas supaya BWI dapat mengambil langkah yang lebih drastis.

Yakni, dengan meluncurkan produk wakaf yang khusus untuk penanggulangan bencana. Wakaf ini dapat saja dinamakan Wakaf untuk Penanggulangan Bencana (WPB). WPB ini sebagai langkah proaktif dalam menyiapkan pendanaan sebelum bencana terjadi.

Selama ini, di Indonesia, pendanaan untuk bencana lebih bersifat reaktif. Ini terlihat dari berbagai tabung bencana yang diinisiasi berbagai pihak mulai dari media sampai lembaga kemanusiaan setelah bencana terjadi.

Sifat reaktif ini juga terlihat dari proyeksi penggunaan dana SBSN yang dibeli dengan dana WLS. Pertanyaan yang seterusnya muncul, mengapa inisiasi WPB ini urgen? Apakah ada dalam literatur wakaf konsep serupa dan bagaimana pula model yang dapat diikuti BWI?

Secara geografis, posisi Indonesia yang terletak di daerah ‘Pacific Ring of Fire’, membuat negara kita rawan ancaman gempa dan tsunami seperti yang baru saja terjadi di Lombok, Palu, dan Donggala.

Gempa bumi dan tsunami 2004 di Aceh membuka mata betapa kita tidak berdaya menghadapi bencana. Salah satu aspek positif dari gempa bumi dan tsunami Aceh itu adalah kesadaran perlunya membangun sistem penanggulangan bencana secara komprehensif.

Sistem penanggulangan bencana ini terdiri atas tiga hal, yaitu legislasi, lembaga, dan pendanaan. Dari segi legislasi, Undang-Undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadi titik tolak menciptakan sistem penanggulangan bencana.

Untuk kelembagaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang berfungsi mengoordinasikan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Sumber pendanaan dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), baik melalui APBN atau APBD, dana kontingensi, dana siap pakai, dana bantuan sosial berpola hibah, dana yang bersumber dari masyarakat, maupun dana dukungan komunitas internasional.

Berdasarkan kalkulasi BNPB, dana tanggap darurat bencana yang ideal adalah Rp 15 triliun per tahun mengingat negara kita yang rentan bencana. Namun, dana tanggap darurat yang tersedia untuk tahun 2018 hanyalah Rp 4 triliun.

Hal ini menyulitkan BNPB melakukan berbagai kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pascabencana. Minimnya pendanaan juga berdampak pada tahapan kesiapan menghadapi bencana.

Letak Indonesia yang berada di daerah rawan gempa dan tsunami, membuat kita mau tidak mau harus memperkuat sektor mitigasi bencana. Mitigasi bencana ini akan berperan besar dalam meminimalkan jumlah korban.

Ketika tsunami tahun 2004 di Aceh, kearifan lokal yang dikenali dengan 'smong' terbukti mampu meminimalkan korban tsunami di Pulau Simeulue. Karena itu, perlu langkah strategis dan proaktif mengatasi masalah tidak cukupnya dana penanggulangan bencana.

Tentunya hal ini perlu dipikirkan semua pemangku kepentingan dari beragam latar belakang. Sepanjang sejarah wakaf, pada 1549 di Turki ternyata ada satu wakaf yang dinamakan wakaf untuk pemeliharaan dan pemulihan pascabencana alam.

Dalam buku Marvelous Pious Foundations (Waqfs) Throughout History terbitan Directorate General Foundations Publications Turkey (2014), disebutkan, Semsuddin Haci Ahmed Efendi mewakafkan 500 dirham untuk pemeliharaan dan pemulihan pascabencana.

Ahmed Efendi ketika melakukan wakaf menyebutkan, jika ada masjid, sekolah, dan bangunan lain di lokasi ia tinggal itu rusak, baik karena terbakar, gempa, maupun bencana yang lain dapat segera diperbaiki dengan dana wakaf yang diberikannya itu.

Apa yang membuat beliau melakukan wakaf itu? Ini berangkat dari pengalaman pahit saat gempa sebelumnya di Distrik Kasimpasa, tempat ia tinggal, yang setiap orang memiliki dana terbatas yang hanya cukup untuk memperbaiki rumah masing-masing. Sedangkan sekolah dan masjid tidak dapat diperbaiki karena tidak ada dana. Akibatnya, anak-anak tidak dapat belajar di sekolah untuk beberapa waktu yang lama.

Menariknya lagi, sebelumnya, pada 1495, Sultan Bayezid II mewakafkan satu jembatan tahan gempa beserta biaya operasionalnya di Kota Amasya, Turki. Jembatan ini khusus dibangun untuk menghubungkan suatu kompleks pendidikan dengan daerah lain di seberang sungai. Sultan kemudian mewakafkan uang untuk menggaji orang yang tugasnya menjaga dan merawat jembatan itu setiap hari.

Petugas ini setiap hari bekerja untuk mencegah terjadinya kerusakan pada jembatan, baik disebabkan oleh batu-batu besar maupun pohon besar yang hanyut dibawa air ataupun sebab lainnya. Melihat rekam jejak wakaf yang dilakukan Ahmed Efendi dan Sultan Beyezid II serta rawannya terjadi bencana di negara kita, maka sudah waktunya BWI melakukan terobosan besar dengan meluncurkan WPB.

Untuk mengelola WPB secara profesional, ada baiknya BWI mempelajari kisah sukses pengelolaan wakaf tunai di Singapura dalam satu program yang diberi nama Mosque Building and Mendaki Fund (MBMF).

Sejak 1975, setiap Muslim yang bekerja di Singapura diharuskan memberikan kontribusi bulanan kepada Mosque Building Fund (MBF). Penggunaan dana itu diplot untuk membangun masjid ketika kota atau permukiman baru dibuka di negara itu.

Lalu pada 1984, MBF digabungkan dengan Mendaki Foundation yang dananya difokuskan pada program dalam bidang pendidikan dan sosial.

Kemudian, tabungan yang kini bernama MBMF ini berfungsi untuk menyalurkan bantuan dalam bidang pendidikan, sosial, dan merevitalisasi masjid-masjid lama di Singapura. Kontribusi setiap individu berbeda sesuai jumlah gaji bulanan yang mereka miliki.

Saat ini, total uang yang diperoleh melalui MBMF setiap tahun adalah 26,2 juta dolar Singapura. Kalau MBMF di Singapura merupakan kontribusi wajib yang dipotong dari gaji bulanan, kontribusi untuk WPB di Indonesia dapat dilakukan secara sukarela.

Untuk lebih efektif menggalang dan mengelola dana WPB, BWI bisa juga melihat bagaimana cara penggalangan dan pemanfaatan dana yang dilakukan lembaga kemanusiaan dalam menjalankan berbagai program intervensi pascabencana.

Akhirnya, kita berharap dengan kerja sama BWI dan pemangku kepentingan wakaf lain beserta pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Indonesia, WPB ini dapat menjadi terobosan baru yang efektif dan efisien dalam penanggulangan bencana secara komprehensif di negara kita.

Sumber : Republika

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Wakaf untuk Penanggulangan Bencana"

Posting Komentar