Novel Tanpa Kata Menyoal Lenyapnya Komitmen Kaum Milenial
Berangkat dari kegelisahan akan hilangnya nilai komitmen di kalangan kaum milenial saat ini, novel Tanpa Kata diluncurkan. Novel karya guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Dr Endry Boeriswati, diluncurkan di hadapan 200 orang akademisi dan mahasiswa di Kampus UNJ Rawamangun, Jakarta, Kamis (28/6).
Tampil sebagai pembedah buku, Fahmi Idris (politisi senior Golkar/dosen Pascasarjana UNJ) dan Helvy Tiana Rosa (novelis/dosen UNJ). Acara yang dipandu Dr Fathiaty Murtadho itu dihadiri pimpinan UNJ, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) UNJ, alumni, dan mahasiswa.
Novel Tanpa Kata mengisahkan drama cinta segitiga sebagai realitas kehidupan yang kompleks. Dalam cinta ada pengkhianatan, dalam cinta ada pula kesetiaan. Namun cinta, tetap membutuhkan komitmen. Komitmen adalah kesetiaan. Maka komitmen harus terkatakan, bukan komitmen tanpa kata.
“Novel ini saya tulis bukan sekedar hiburan. Tapi untuk direnungkan. Karena banyak orang sekarang hidup tanpa komitmen, tanpa kata. Kisah cinta segitiga yang mengharu biru dalam novel ini hanya media. Untuk menyampaikan pesan hilangnya komitmen, tanpa kata-kata,” ujar Prof Dr Endry Boeriswati di sela acara peluncuran, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (28/6).
Ia menambahkan, novel yang berlatar riset ini pun memberikan kebebasan pembaca untuk menafsirkan cerita dari fakta yang ada. Hal ini di sengaja atas dasar kaum milenial tidak bisa dicekokin dengan pesan yang ada dalam novel.
Pesan yang diapresiasi sangat bergantung pada tingkat literasi dan sudut pandang pembaca. Maka wajar, penulis pun menabrak pakem dan kaidah penulisan novel pada umumnya. Sederhananya, liarkan pikiran, aturlah perilaku.
“Novel ini menyajikan paradigm baru dalam berpikir dan bertindak. Tidak happy ending dan sangat kompleks. Namun ceritanya dikemas penuh dengan makna” ujar Fahmi Idris.
Novelis Helvy Tiana Rosa mengemukakan, boleh jadi, novel Tanpa Kata menjadi salah satu karya sastra yang dihadirkan atas kekuatan logika, bukan seni. Karena konteks dan setting cerita justru menampilkan premis-premis yang harus dipikirkan untuk dicari jawabannya.
“Buat saya, karakter tokoh yang disajikan dalam novel ini cukup jeli dan merepresentasikan kaum milenial. Novel yang lahir dari akademisi seperti in harus diperbanyak. Karena pasti ada pesan yang beda untuk pembacanya,” ujar ujar Helvy Tiana Rosa.
Dengan diluncurkannya novel Tanpa Kata, penulis berharap pembaca di Indonesia khususnya kaum milenial bisa merefleksi kembali akan pentingnya nilai komitmen. Karena komitmen adalah janji: janji pada diri sendiri atau pada orang lain yang tercermin dalam tindakan.
“Inilah novel curahan hati saya. Karena saat ini makin banyak orang yang tidak punya komitmen. Maka orang lain pun menjadi korbannya. Komitmen itu pengakuan seutuhnya setiap manusia, sebagai cerminan sikap dan watak dalam diri seseorang,” tambah Endry Boeriswati.
Penulis berharap, kehadiran novel Tanpa Kata bisa memberikan alternatif paradigma dalam bersastra. Sastra yang berbasis logika, bukan hanya perasaan atau seni. Seperti yang tersaji di bagian akhir cerita novel ini: "Komitmen adalah kumpulan huruf menjadi kata. Komitmen tidak hanya dieja. Komitmen adalah setia. Dan, bila tanpa kata, tak akan bisa setia."
Sumber : Republika.co.id
0 Response to "Novel Tanpa Kata Menyoal Lenyapnya Komitmen Kaum Milenial"
Posting Komentar