Kepalsuan Media: Ketika Waode Dilarang Bernyanyi
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Kepalsuan, citra, hingga bedak dalam media masa hari ini memang terlhat nyata menjadi jualan utama pada sebuah negara yang bisa disebut super kapitalis ini. Citra dan bedak pada hari-hari terkini kian penting ketika situasi jelang pemilu mulai hadir (kemarin sudah pilkada).
Lihat saja, sebentar lagi akan bertaburan poster berwajah cantik dan gagah di bawah pokok pohon, jembatan, pesawahan, dan pinggir jalan-jalan. Ini memang menjadi lucu dan wagu karena tiba-tiba banyak orang sibuk berdandan dan bersolek layaknya pesohor yang itu-itu saja yang nongol di televisi.
Tapi kadang semua citra adalah keharusan untuk melayani sistem demokrasi yang sampai kini juga tetap masih arfisial ini. Pengenalan publik jadi prasyarat untuk mendongkrak kata yang kini menjadi mantra: elektabilitas! Padahal di balik itu terkandung makna yang banal, yakni demi uang, demi popalarits, dan demi pengumpulan modal.
Misalnya, publik media terakhir ini dikejutkan dengan fenomena konyol tentang nasib seorang anak gadis yang masih berusia 16 tahun asal kota kecil di Sulawesi Tenggara, kota Bau-Bau. Anak ini memicu perhatian setelah ada tayangan video di Youtube yang berisi dia tak boleh menyanyi dalam sebuah audisi dangdut untuk sebuah televisi.
Tragisnya, dia tak boleh nyanyi oleh sang juri karena berpenampilan sederhana layaknya anak kampung yang terbiasa tak berbedak dan irit berbicara. Ketika disemprot sang juri dengan ekpresi ketus, sesaat terlihat bibir anak yang bernama Waode Sofia gemetar tanda nervous. Dia menjawab pendek bila bajunya yang bagus itu ketinggalan.
Tayangan video ini membuat gempar. Publik geram menonton sebuah tayangan yang terlihat sadis dan melecehkan. Mereka tahu di acara bergenre yang sama, meski ada orang berpampilan sederhana ikut ajang nyanyi, mereka dibolehkan dan mendapat respek. Mereka ingat betul ada seorangg gadis mungil yang masih pakai bawahan seragam baju sekolah dan bersepatu lecek, malah jadi juara ajang nyanyi di televisi. Berbeda dengan ajang nyanyi itu, para jurinya tampak lebih cerdas serta mau berendah hati tak mempersoalkannya. Mereka lebih peduli sama kualitas suara dari pada mengukur ketebalan bedak, merahnya bibir, warna cat rambut, mengkilapnya sepatu, mencongnya alis, hingga gemerlap baju yang dikenakan si peserta.
Dalam banyak pemberitaan, pihak pengampu tayangan kemudian terlihat kerepotan menjawab serangan ‘bully’ di media sosial. Mereka bertahan dengan menyatakan tayanan itu terpotong atau terkesan hanya sebagai ‘permainan’ atau gimmick saja’. Si juri pun omong seperti termuat di media massa dengan menyatakan bila apa yang dilakukannya adalah sebagai langkah persiapan mental bagi anak tersebut
Publik jelas tak terima, karena merasa kalau tayangan benar itu hanya ‘gimmick’ malah menjadi luar bisa sadis karena dilakukan dengan terencana. Apalagi ini dilakukan kepada seorang gadis yang masih dalam kategori masa anak-anak karena baru berusia 16 tahun. Yang paling celaka, KPAI dan Komisi Penyiaran sampai hari ini belum bersuara.
Sebenarnya, dalam dunia konteks ajang nyanyi, apa yang kini terjadi bukan hal baru. Bedanya dahulu para musisi senior lebih arif. Hal ini misalnya pernah menimpa seorang Titiek Puspa yang suaranya tak keluar ketika harus nyanyi dalam lomba ajang Bintang Radio dan Televisi di tahun 1950-an di Jakarta. Saking groginya, Titiek yang anak kampung asal Semarang, hanya membisu ketika lagu sudah mengalun. Dia pun kalah telak.
Namun, musibah itu kemudian menjadi karunia bagi Titiek. Ini ketika keesokan harinya dia diminta menyanyi oleh Bing Slamet di Monas. Titiek ternyata bisa bernyanyi dengan sangat merdu dan oleh Bing Slamet kemudian dia dijadikan penyanyi. Meski artis senior, Bing Slamet tak mengajak berperkara dan berperilaku semana-mena terhadap anak desa yang bernama Titiek. Di kemudian hari dua orang ini malah menjadi artis yang melegenda.
Selain itu, bangsa Indonesia pun tidak bisa membayangkan bila kini bisa menerima legenda pesohor layaknya Alex Komang, Jamal Mirdad (sepupu Alex Komang), hingga Ebiet G Ade. Pada sosok Ebiet misalnya ketika pertama kali rekaman tokrongan dia jauh dari menyakinkan (Ebiet menyebutnya jauh dari pakaian bagus dan wangi). Dia memulai dari tahapan kalangan sederhana dari kampungnya di Banjarnegara dan Yogyakarta. Sahabatnya yang juga sekarang sangat kondang, Emha Ainun Nadjib, menyebutnya bila mereka pernah hidup bersama dalam episode sangat sengsara atau sangat miskin harta. Penampilan Ebiet pun kumal dan kampungan. Pada foto pada sampul album pertama ‘Camelia I’ jejak ini terlihat ketika dia hanya mengenakan pakaian drill yang murahan.
Hal yang sama juga terjadi pada mendiang Gombloh hingga Mbah Surip. Mereka bertampang biasa dan awut-awutan yang mengesankan orang kampung. Tapi prestasinya pun luar biasa. Mbah Surip apabila anda sering nongkrong di Bulungan, pasti tahu seperti apa dia. Begitu juga Gombloh yang jadi ‘bohemian’ di THR Surabaya. setiap kali lagunya meledak sebagain penghasilannya dibelikan 'kutang' untuk di bagikan kepada para perempuan penghuni kawasan merah yang kini telah dibubarkan: Gang Doli.
Jadi apa yang menimpa Waode, meskipun itu dianggap setingan, ini perilaku yang jauh dari keabadan. Respek pada orang lemah, kecil, tak punya seakan hilang pada media massa. Semua bekerja mengejar rating, iklan, dan menjadi pelayanan sejati sistem industri yang super kapiltalis itu.
Seorang guru sebuah SMK di sebuah pelosok tanah air pernah mengeluh. Bila tayangan atau sajian dia media masa (dan juga medos) banyak yang merusak mental bangsa. Anak-anak muridnya menjadikan nyanyian sekaligus goyangan yang bergaya cabul menjadi acuan. Mereka banyak bermimpi jadi artis karena terkesan glamour dan hidup bergelimang uang serta ketenaran.
”Sering saya merana, usaha yang lama dan keras dari para guru untuk membenahi mental para murid, hilang sekejap dengan ekpresi bernyanyi dan gaya panggung para artis di televisi yang tak beradab. Dia bergoyang sebeberapa menit, tapi saya merasa segala usaha untuk mendidik anak-anak selama bertahun-tahun kita hancur lebur,’’ keluh guru itu.
Akibatnya, jangan heran bila sosok seperti Lalu Muhammad Zuhri (pelari), Muhammad Fauzan (karateka), Tantowi dan Lyliana Natsir (bulu tangkis) belakangan makin langka. Suasana gairah masyarakat, sikap media, juga seolah tak butuh mereka lahir dan ada. Mereka baru saja terasa ada ketika juara. Publik dan media tak peduli ketika mereka berproses. Bahkan menolaknya karena dia miskin, berumah reyot, tak berbedak, tak berbaju bagus.
Respek kepada orang lemah tak terlihat pada media masa masa kini. Ah jangan samakan pada tayangan ajang unjuk bakat menyanyi di televisi luar negeri. Di sana terlihat ada kehangatan dan respek kepada orang susah, misalnya sikap empati kepada para gelandangan dan orang tak punya yang berdandan berantakan. Para juri lomba nyanyi itu menerima dengan lapang dada. Simon Philip Cowell atau Paula Abdul hanya kritis pada soal suara. Keduanya tetap respek dan peduli pada orang berkekurangan, apalagi penyandang disabilitas.
Media massa baik cetak dan elektronik di sebuah negara itu cermin dari warga negaranya. Sayangnya kadang kala cermin kita banting sendiri karena muka tak secerah, setampan, secantik para pesohor yang berpenampilan mengkilap di televisi.
Atau dengan kata lain, media menjadi penyembah citra palsu kita. Seakan-akan kita semua sudah menjadi bangsa yang lebih sempurna, makmur, dan sejahtera.
Mudah-mudahan nasib menimpa Waode menjadi terakhir kali!
Sumber : Republika.co.id
0 Response to "Kepalsuan Media: Ketika Waode Dilarang Bernyanyi"
Posting Komentar